Laman

Jumat, 10 Januari 2014

Abu Bakar Ba’asyir



Abu Bakar Ba’asyir bin Abu Bakar Abud, biasa juga dipanggil Ustadz Abu dan Abdus Somad lahir pada 12 Dzulhijjah 1359, dua hari setelah Hari Raya Idul Adha atau bertepatan dengan 17 Agustus 1938, di Desa Pekunden, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, sebuah desa di pingiran Kabupaten Jombang Jawa Timur.[1]
Kelahiran Ba’asyir di Jombang disambut sayup-sayup senandung takbir yang terdengar di sudut-sudut desa yang didengungkan anak-anak melalui surau-surau tua di sekitar rumahnya. Senandung takbir perayaan peringatan keteladanan pengorbanan Bapak Tauhid, Nabi Ibrahim yang hendak menyembelih putranya. Raut muka syukur dan linangan air mata syukur kedua orang tuanya mengiringi kelahiran sosok Ba’syir yang diharapkan meneladani pengorbanan Ibrahim dan semangat patriotisme seorang pejuang dalam mempertahankan prinsip kebenaran dan keislaman. Ia terlahir bersama tiga saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan.
Orang tua Ba’asyir bukanlah seorang yang kaya raya selayaknya kebanyakan warga masyarakat keturunan Arab lainnya. Namun, kecintaan terhadap Islam dan ketundukan orang tuanya pada Allah yang menjadikan Ba’asyir kecil ini mampu bertahan. Darah keturunan Hadramaut Yaman mengalir deras dalam dirinya. Ayahnya bernama Abud bin Ahmad dari keluarga Bamu’alim Ba’asyir yang membuat Abu Bakar menyandang marga Ba’asyir di belakang nama aslinya. Kenangan indah bersama sang ayah tak banyak ia rasakan dan ia nikmati. Saat usia tujuh tahun, ayahnya harus meninggalkan tawa riang Abu Bakar kecil menuju keharibaan Ilahi. Ayahnya meninggal dunia. Ia menjadi yatim di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang masih kacau meskipun telah memperoleh kemerdekaannya.[2]
Di tengah carut marutnya kehidupan bangsa Indonesia, ibunya yang masih buta huruf latin aksara Indonesia mengasuh sendiri Abu Bakar kecil. Ibunya bernama Halimah yang lahir di Indonesia walaupun masih juga berketurunan Yaman dari keluarga Bazargan. Demi melanjutkan amanat agama dan suaminya, sang Bunda terus menanamkan nilai-nilai keislaman demi kebahagiaan sang putra kelak. Ibundanya yang pandai membaca Alquran dan seorang muslimah taat beragama selalu mendampingi pendidikan agama sang anak di rumah meskipun Abu Bakar kecil juga tak pernah absen menghadiri pendidikan agama di mushala kampung tempat tinggalnya.
Tak ingin membiarkan anaknya tertinggal dalam kebodohan, orang tuanya memasukkan Abu Bakar kecil untuk menempuh pendidikan pertamanya di sebuah Madrasah Ibtida’iyah. Selama menjadi siswa di madrasah, Abu Bakar kecil sempat ikut kegiatan gerakan Kepanduan Islam Indonesia (pada masa orde lama yang kemudian difusikan dalam Gerakan Pramuka). Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR), pendidikannya berlanjut ke jenjang sekolah menengah. Ia bersekolah di sebuah SMP Negeri di kota Jombang. Semasa SMP ini, Abu Bakar aktif mengikuti kegiatan berorganisasi dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) ranting Mojoagung disamping masih menjadi anggota Gerakan Pramuka. Menginjak masa remaja setelah merampungkan sekolah di SMP, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA. Saat itu, ia masuk SMA Negeri Surabaya.[3]
Pada tahun 1959, ia mendaftar sebagai santri di Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Ia kembali aktif dalam wadah Pelajar Islam Indonesia (PII) cabang Gontor. Ia lulus pada tahun 1963. Semangatnya untuk menempuh pendidikan masih membara di benaknya sehingga ia melanjutkan studinya di Universitas Al Irsyad jurusan Dakwah di kota Solo, Jawa Tengah. Perjalanan karirnya dimulai dengan menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Solo. Selanjutnya menjabat Sekretaris Pemuda Al-Irsyad Solo, dan terpilih menjadi Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (1961), Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam. Kemudian memimpin Pondok Pesantren Al Mu’min (1972) dan menjabat Ketua Organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), sejak 2002.[4]
Sejak awal, Abu Bakar Ba’asyir memang tidak segan-segan “berdakwah” yang dapat menyinggung dan mengkritik penguasa Orde Baru. Pada tahun 1983, Abu Bakar Ba’asyir ditangkap bersama dengan Abdullah Sungkar. Ia dituduh menghasut orang untuk menolak asas tunggal Pancasila. Bagi Abu Bakar Ba’asyir, kebijakan pemerintah yang menetapkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah perbuatan syirik. Ia juga melarang santrinya melakukan hormat bendera karena menurut dia itu perbuatan syirik. Ia akhirnya ditangkap dan dipenjara selama 4 tahun tanpa alasan yang jelas.[5]
Setelah bebas, Abu Bakar Ba’asyir bersama Abdullah Sungkar (alm.), rezim Orba kembali menekan MA untuk menaikkan masa hukuman menjadi 9 tahun. Melihat gelagat rezim Orde Baru tersebut, akhirnya mereka berdua meninggalkan rumah untuk kemudian hijrah ke Malaysia. Keduanya sempat mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama “Ma’had Tarbiyah Islamiyah Luqman al Hakim” di Johor Malaysia, yang salah satu muridnya adalah Dr. Azhari Husin dan Noordin M. Top.[6]
Lengsernya Soeharto dari kursi presiden membawa harapan baru bagi Abu Bakar Ba’asyir. Ia memutuskan kembali ke Indonesia dan kembali ke ponpes Al Mukmin Ngruki meneruskan pendidikan dan dakwah untuk menegakkan cita-cita demi tegaknya syariat Islam di Indonesia. Dalam rangka mengembangkan dakwah, Abu Bakar Ba’asyir mengikuti kongres umat Islam yang digagas oleh beberpa aktivis dakwah di Yogyakarta, hingga terbentuklah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Hasil kongres memutuskan Abu Bakar Ba’asyir diangkat menjadi Amir Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) MMI atau juga di sebut sebagai Amir MMI.[7]
Pada 10 Januari 2002, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Sukoharjo, Muljadji menyatakan bahwa pihaknya akan segera melakukan eksekusi putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap pemimpin tertinggi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir seputar Pancasila sebagai azas tunggal pada tahun 1982.[8] Untuk itu, Kejari segera melakukan koordinasi dengan Polres dan Kodim Sukoharjo. Pada 19 April 2002, Ba’asyir menolak eksekusi atas putusan Mahkamah Agung (MA), untuk menjalani hukuman pidana selama sembilan tahun atas dirinya, dalam kasus penolakannya terhadap Pancasila sebagai azas tunggal pada tahun 1982. Ba’asyir menganggap, Amerika Serikat berada di balik eksekusi atas putusan yang sudah kadaluarsa itu.
Pada 28 Februari 2002, Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew, menyatakan Indonesia, khususnya kota Solo sebagai sarang teroris. Salah satu teroris yang dimaksud adalah Abu Bakar Ba’asyir Ketua Majelis Mujahidin Indonesia, yang disebut juga sebagai anggota Jama’ah Islamiyah.[9] Pada tahun 2003, ia ditangkap lagi oleh pemerintahan Megawati karena dituduh terlibat kegiatan terorisme yang membuatnya divonis 1,5. Tahun 2004, setelah keluar dari pintu penjara salemba, ia langsung dicegat oleh polisi untuk dijebloskan kembali ke penjara. Lagi-lagi karena tuduhan yang sama. Dia dianggap terlibat kasus bom hotel Marriot.[10]
Pada 21 Desember 2006, Mahkamah Agung lewat majelis hakim yang dipimpin German Hoediarto, memutuskan pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia atau MMI Abu Bakar Ba’asyir bebas dari dakwaan terkait dengan kasus terorisme dan peledakan bom di Bali.[11] Setelah menyatakan keluar dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Abu Bakar Ba’asyir mendeklarasikan ormas Islam baru yang diberi nama Jamaah Ashorut Tauhid pada akhir tahun 2008, sekaligus bertindak selaku Amir (pimpinan) jamaah tersebut.
Pada 9 Agustus 2010 Abu Bakar Ba’asyir kembali ditahan oleh Kepolisian RI di Banjar Patroman atas tuduhan membidani satu cabang al-qaeda di Aceh. Pengasuh Pondok Pesantren Ngruki, Sukoharjo, itu disinyalir merestui dan ikut mendanai pelatihan senjata teroris yang dipimpin Sonata.[12] Pada 16 Juni 2011, Ba’asyir dijatuhi hukuman penjara 15 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah dinyatakan terbukti merencanakan dan menggalang dana untuk pembiayaan pelatihan militer kelompok teroris yang mengadakan latihan bersenjata di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut yang menginginkan pimpinan Jamaah Ashorut Tauhid dijatuhi hukuman seumur hidup.[13]


[1] Vonis Tak Terlibat Bom Bali, dalam: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/287-wiki-tokoh/504-vonis-tak-terlibat-bom-bali
[2] Islam Will Dominate The World!, dalam: http://tegoeh.multiply.com/reviews/item/94
[3] Ibid.
[4] Vonis Tak Terlibat Bom Bali, dalam: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/287-wiki-tokoh/504-vonis-tak-terlibat-bom-bali
[5] Sholahuddin, NII sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia, Sholahuddin, NII sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), hlm. 145.
[6] Jurnal Millah, Millah Vol. III, No. 1, Agustus 2003.
[7] Muhammad Iqbal Ahnaf, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia. Dalam A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro “et all”, (Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2004), hlm. 694.
[8] Sholahuddin, NII sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia, Sholahuddin, NII sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia, hlm. 155.
[9] Vonis Tak Terlibat Bom Bali, dalam: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/287-wiki-tokoh/504-vonis-tak-terlibat-bom-bali
[10] Islam Will Dominate The World!, dalam: http://tegoeh.multiply.com/reviews/item/94
[11] Vonis Tak Terlibat Bom Bali, dalam: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/287-wiki-tokoh/504-vonis-tak-terlibat-bom-bali
[12] http://www.tempo.co/read/news/2010/08/09/063269965/Baasyir-Disebut-Restui-Operasi-Sonata-di-Aceh
[13] Ba’asyir divonis 15 tahun penjara, dalam: http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/06/110615_basyirverdict.shtml

Tidak ada komentar:

Posting Komentar