Abu
Bakar Ba’asyir bin Abu Bakar Abud, biasa juga dipanggil Ustadz Abu dan Abdus
Somad lahir pada 12 Dzulhijjah 1359, dua hari setelah Hari Raya Idul Adha atau
bertepatan dengan 17 Agustus 1938, di Desa Pekunden, Kecamatan Mojoagung,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur, sebuah desa di pingiran Kabupaten Jombang Jawa
Timur.[1]
Kelahiran
Ba’asyir di Jombang disambut sayup-sayup senandung takbir yang terdengar di
sudut-sudut desa yang didengungkan anak-anak melalui surau-surau tua di sekitar
rumahnya. Senandung takbir perayaan peringatan keteladanan pengorbanan Bapak
Tauhid, Nabi Ibrahim yang hendak menyembelih putranya. Raut muka syukur dan
linangan air mata syukur kedua orang tuanya mengiringi kelahiran sosok Ba’syir
yang diharapkan meneladani pengorbanan Ibrahim dan semangat patriotisme seorang
pejuang dalam mempertahankan prinsip kebenaran dan keislaman. Ia terlahir
bersama tiga saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan.
Orang
tua Ba’asyir bukanlah seorang yang kaya raya selayaknya kebanyakan warga
masyarakat keturunan Arab lainnya. Namun, kecintaan terhadap Islam dan
ketundukan orang tuanya pada Allah yang menjadikan Ba’asyir kecil ini mampu
bertahan. Darah keturunan Hadramaut Yaman mengalir deras dalam dirinya. Ayahnya
bernama Abud bin Ahmad dari keluarga Bamu’alim Ba’asyir yang membuat Abu Bakar
menyandang marga Ba’asyir di belakang nama aslinya. Kenangan indah bersama sang
ayah tak banyak ia rasakan dan ia nikmati. Saat usia tujuh tahun, ayahnya harus
meninggalkan tawa riang Abu Bakar kecil menuju keharibaan Ilahi. Ayahnya
meninggal dunia. Ia menjadi yatim di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang
masih kacau meskipun telah memperoleh kemerdekaannya.[2]
Di
tengah carut marutnya kehidupan bangsa Indonesia, ibunya yang masih buta huruf
latin aksara Indonesia mengasuh sendiri Abu Bakar kecil. Ibunya bernama Halimah
yang lahir di Indonesia walaupun masih juga berketurunan Yaman dari keluarga
Bazargan. Demi melanjutkan amanat agama dan suaminya, sang Bunda terus
menanamkan nilai-nilai keislaman demi kebahagiaan sang putra kelak. Ibundanya
yang pandai membaca Alquran dan seorang muslimah taat beragama selalu
mendampingi pendidikan agama sang anak di rumah meskipun Abu Bakar kecil juga
tak pernah absen menghadiri pendidikan agama di mushala kampung tempat
tinggalnya.
Tak
ingin membiarkan anaknya tertinggal dalam kebodohan, orang tuanya memasukkan
Abu Bakar kecil untuk menempuh pendidikan pertamanya di sebuah Madrasah
Ibtida’iyah. Selama menjadi siswa di madrasah, Abu Bakar kecil sempat ikut
kegiatan gerakan Kepanduan Islam Indonesia (pada masa orde lama yang kemudian
difusikan dalam Gerakan Pramuka). Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR),
pendidikannya berlanjut ke jenjang sekolah menengah. Ia bersekolah di sebuah
SMP Negeri di kota Jombang. Semasa SMP ini, Abu Bakar aktif mengikuti kegiatan
berorganisasi dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) ranting Mojoagung
disamping masih menjadi anggota Gerakan Pramuka. Menginjak masa remaja setelah
merampungkan sekolah di SMP, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA. Saat
itu, ia masuk SMA Negeri Surabaya.[3]
Pada
tahun 1959, ia mendaftar sebagai santri di Pondok Pesantren Darussalam Gontor.
Ia kembali aktif dalam wadah Pelajar Islam Indonesia (PII) cabang Gontor. Ia
lulus pada tahun 1963. Semangatnya untuk menempuh pendidikan masih membara di
benaknya sehingga ia melanjutkan studinya di Universitas Al Irsyad jurusan
Dakwah di kota Solo, Jawa Tengah. Perjalanan karirnya dimulai dengan menjadi
aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Solo. Selanjutnya menjabat Sekretaris Pemuda
Al-Irsyad Solo, dan terpilih menjadi Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia
(1961), Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam. Kemudian memimpin Pondok
Pesantren Al Mu’min (1972) dan menjabat Ketua Organisasi Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), sejak 2002.[4]
Sejak
awal, Abu Bakar Ba’asyir memang tidak segan-segan “berdakwah” yang dapat
menyinggung dan mengkritik penguasa Orde Baru. Pada tahun 1983, Abu Bakar
Ba’asyir ditangkap bersama dengan Abdullah Sungkar. Ia dituduh menghasut orang
untuk menolak asas tunggal Pancasila. Bagi Abu Bakar Ba’asyir, kebijakan
pemerintah yang menetapkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
adalah perbuatan syirik. Ia juga melarang santrinya melakukan hormat bendera
karena menurut dia itu perbuatan syirik. Ia akhirnya ditangkap dan dipenjara
selama 4 tahun tanpa alasan yang jelas.[5]
Setelah
bebas, Abu Bakar Ba’asyir bersama Abdullah Sungkar (alm.), rezim Orba kembali
menekan MA untuk menaikkan masa hukuman menjadi 9 tahun. Melihat gelagat rezim
Orde Baru tersebut, akhirnya mereka berdua meninggalkan rumah untuk kemudian
hijrah ke Malaysia. Keduanya sempat mendirikan sebuah pesantren yang diberi
nama “Ma’had Tarbiyah Islamiyah Luqman al Hakim” di Johor Malaysia, yang salah
satu muridnya adalah Dr. Azhari Husin dan Noordin M. Top.[6]
Lengsernya
Soeharto dari kursi presiden membawa harapan baru bagi Abu Bakar Ba’asyir. Ia
memutuskan kembali ke Indonesia dan kembali ke ponpes Al Mukmin Ngruki
meneruskan pendidikan dan dakwah untuk menegakkan cita-cita demi tegaknya syariat
Islam di Indonesia. Dalam rangka mengembangkan dakwah, Abu Bakar Ba’asyir
mengikuti kongres umat Islam yang digagas oleh beberpa aktivis dakwah di
Yogyakarta, hingga terbentuklah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Hasil
kongres memutuskan Abu Bakar Ba’asyir diangkat menjadi Amir Ahlul Halli Wal
Aqdi (AHWA) MMI atau juga di sebut sebagai Amir MMI.[7]
Pada
10 Januari 2002, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Sukoharjo, Muljadji
menyatakan bahwa pihaknya akan segera melakukan eksekusi putusan kasasi Mahkamah
Agung terhadap pemimpin tertinggi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar
Ba’asyir seputar Pancasila sebagai azas tunggal pada tahun 1982.[8] Untuk itu, Kejari segera melakukan koordinasi dengan Polres
dan Kodim Sukoharjo. Pada 19 April 2002, Ba’asyir menolak eksekusi atas putusan
Mahkamah Agung (MA), untuk menjalani hukuman pidana selama sembilan tahun atas
dirinya, dalam kasus penolakannya terhadap Pancasila sebagai azas tunggal pada
tahun 1982. Ba’asyir menganggap, Amerika Serikat berada di balik eksekusi atas
putusan yang sudah kadaluarsa itu.
Pada
28 Februari 2002, Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew, menyatakan Indonesia,
khususnya kota Solo sebagai sarang teroris. Salah satu teroris yang dimaksud
adalah Abu Bakar Ba’asyir Ketua Majelis Mujahidin Indonesia, yang disebut juga
sebagai anggota Jama’ah Islamiyah.[9] Pada tahun 2003, ia ditangkap lagi oleh pemerintahan
Megawati karena dituduh terlibat kegiatan terorisme yang membuatnya divonis
1,5. Tahun 2004, setelah keluar dari pintu penjara salemba, ia langsung dicegat
oleh polisi untuk dijebloskan kembali ke penjara. Lagi-lagi karena tuduhan yang
sama. Dia dianggap terlibat kasus bom hotel Marriot.[10]
Pada
21 Desember 2006, Mahkamah Agung lewat majelis hakim yang dipimpin German
Hoediarto, memutuskan pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia atau MMI Abu Bakar
Ba’asyir bebas dari dakwaan terkait dengan kasus terorisme dan peledakan bom di
Bali.[11] Setelah menyatakan keluar dari Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), Abu Bakar Ba’asyir mendeklarasikan ormas Islam baru yang diberi nama
Jamaah Ashorut Tauhid pada akhir tahun 2008, sekaligus bertindak selaku Amir
(pimpinan) jamaah tersebut.
Pada
9 Agustus 2010 Abu Bakar Ba’asyir kembali ditahan oleh Kepolisian RI di Banjar
Patroman atas tuduhan membidani satu cabang al-qaeda di Aceh. Pengasuh Pondok
Pesantren Ngruki, Sukoharjo, itu disinyalir merestui dan ikut mendanai
pelatihan senjata teroris yang dipimpin Sonata.[12] Pada 16 Juni 2011, Ba’asyir dijatuhi hukuman penjara 15
tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah dinyatakan
terbukti merencanakan dan menggalang dana untuk pembiayaan pelatihan militer
kelompok teroris yang mengadakan latihan bersenjata di Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam. Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut yang
menginginkan pimpinan Jamaah Ashorut Tauhid dijatuhi hukuman seumur hidup.[13]
[1] Vonis Tak Terlibat Bom Bali, dalam:
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/287-wiki-tokoh/504-vonis-tak-terlibat-bom-bali
[2] Islam Will Dominate The World!, dalam:
http://tegoeh.multiply.com/reviews/item/94
[3] Ibid.
[4] Vonis Tak Terlibat Bom Bali, dalam:
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/287-wiki-tokoh/504-vonis-tak-terlibat-bom-bali
[5] Sholahuddin, NII sampai JI, Salafy Jihadisme di
Indonesia, Sholahuddin, NII sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2011), hlm. 145.
[6] Jurnal Millah, Millah Vol. III, No. 1, Agustus 2003.
[7] Muhammad Iqbal Ahnaf, Negara Tuhan The Thematic
Encyclopaedia. Dalam A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro “et
all”, (Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2004), hlm. 694.
[8] Sholahuddin, NII sampai JI, Salafy Jihadisme di
Indonesia, Sholahuddin, NII sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia, hlm.
155.
[9] Vonis Tak Terlibat Bom Bali, dalam:
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/287-wiki-tokoh/504-vonis-tak-terlibat-bom-bali
[10] Islam Will Dominate The World!, dalam:
http://tegoeh.multiply.com/reviews/item/94
[11] Vonis Tak Terlibat Bom Bali, dalam:
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/287-wiki-tokoh/504-vonis-tak-terlibat-bom-bali
[12]
http://www.tempo.co/read/news/2010/08/09/063269965/Baasyir-Disebut-Restui-Operasi-Sonata-di-Aceh
[13] Ba’asyir divonis 15 tahun penjara, dalam:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/06/110615_basyirverdict.shtml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar