Laman

Jumat, 10 Januari 2014

Abdullah Sungkar



Abdullah bin Ahmad Sungkar atau lebih dikenal dengan nama Abdullah Sungkar, lahir di Surakarta, pada 1937, dari keluarga sederhana. Dari segi ekonomi orangtuanya hidup dalam kesederhanaan, tetapi aspek pendidikan terutama pendidikan agama, Abdullah Sungkar kecil sangat beruntung, karena selain tinggal di lingkungan religius, ia juga dididik dan diasuh dalam suasana Islam yang kental oleh ayahnya yang bernama Ahmad bin Ali Sungkar, yang merupakan imigran dari Hadramaut. Abdullah Sungkar kecil belajar formal selalu di lembaga pendidikan Islam, mulai Taman Kanak-kanak, SD Al-Irsyad Solo, SMP dilangsungkan di Modern Islamic School. Sejak duduk di bangku SMP ia sudah aktif berorganisasi,[1] dan setelah menamatkan pendidikan di SMA Muhammadiyah Solo (1957), ia tidak melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Namun, Abdullah Sungkar terus meningkatkan ilmu pengetahuannya, terus mendalami ajaran agamanya, dan pada taraf tertentu ia mampu menguasai dua bahasa asing yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Arab dengan baik.[2]
Semangat muda Abdullah Sungkar yang diilhami keimanan yang kuat kepada Allah SWT, mendorongnya untuk menempa diri berkiprah di gelanggang perjuangan Islam. Untuk itu, ia pun akhirnya kepincut dengan dunia organisasi dan kepemudaan. Selain aktif di kepanduan Al-Irsyad, ia juga aktif di Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) pada 1954, bahkan pada tahun yang sama Abdullah Sungkar mulai melangkahkan kakinya ke partai politik (Masyumi) yang dipimpin oleh Moh. Natsir.
Di bidang pendidikan, Abdullah Sungkar dan kawan-kawan pada 1971 mendirikan Yayasan Pondok Pesantren “Al-Mu’min” di daerah Ngruki, Solo, dan masih berdiri hingga kini. Meskipun ia juga anggota partai politik Masyumi, yang sedang berargumentasi seputar penegakan Syari’at Islam di parlemen, tetapi ia malah memilih jalur lain, yaitu berdakwah.[3]
Seiring perjalanan waktu, Abdullah Sungkar pun pada akhirnya menemukan “habitat” aslinya, yaitu dunia dakwah. Di situlah ia kemudian dikenal sebagai mubaligh yang berani dan keras. Bahkan untuk memperluas jangkauan dakwahnya, Abdullah Sungkar bersama kawan-kawannya mendirikan Radio Dakwah Islamiyah (Radis) di Jalan Gading Solo. Akan tetapi karena pemerintah menilai radio tersebut menyiarkan pesan- pesan agama yang dianggap membahayakan negara, maka pemerintah membungkamnya.
Abdullah Sungkar sebelum bergabung dengan Komando Jihad/Darul Islam telah mendirikan sebuah kelompok yang diberi nama ”Jama’ah Islamiyyah”. Kelompok ini anggotanya terdiri dari para veteran pejuang yang sudah pulang dari jihad berperang antara Afganistan dan Rusia.[4] Pada Oktober 2002, PBB menempatkan Jama’ah Islamiyah pada daftar organisasi teroris.[5]
Dalam usaha untuk merealisasikan tujuan dan cita-citanya, Abdullah Sungkar tidak segan-segan “berdakwah” yang dapat menyinggung dan mengkritik penguasa Orde Baru. Akhirnya, pada 1977, selama satu bulan (12 Maret – 29 April) Abdullah Sungkar ditahan Laksusda Jawa Tengah, atas tuduhan subversi karena diduga terlibat Komando Jihad/Darul Islam, serta mensosialisasikan golput pada Pemilu saat itu. Sejak 10 November 1978 sampai 3 April 1982 (4 tahun), Abdullah Sungkar kembali mendekam di tahanan Laksusda Jawa Tengah. Ia dituduh merongrong Pancasila dan pemerintahan yang sah, melalui dakwah-dakwahnya yang berani, keras, dan tegas.[6]
Memperhatikan sepak terjang Abdullah Sungkar tersebut, penguasa Orde Baru berusaha mengembalikanya ke terali besi penjara. Melihat gelagat rezim Orde Baru tersebut, akhirnya Abdullah Sungkar meninggalkan rumah untuk kemudian hijrah ke Malaysia. Sejak 1985 Abdullah Sungkar tinggal di Malaysia dengan berganti nama Abdul Halim, ia tinggal di kampung Air Bong, Serting Tengah, Batu Ulin, Negeri Sembilan. Ia bahkan sempat mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama “Ma’had Tarbiyah Islamiyah Luqman al Hakim” di Johor Malaysia.[7]
Lengsernya Soeharto dari kursi presiden membawa harapan baru bagi Abdullah Sungkar, karena itu Pada 20 Oktober 1999 ia memberanikan diri berkunjung ke Indonesia untuk berziarah ke berapa kawan seperjuangan, tetapi ia mendadak terserang gangguan jantung. Akhirnya pada 23 Oktober 1999, ia dipanggil menghadap Allah SWT. Sang jasad pendiri Pesantren “Al-Mu’min” ini dimakamkan di Klaten Jawa Tengah.


[1] Sholahuddin, NII sampai JI, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), hlm. 140.
[2]Jurnal Millah, Millah Vol. III, No. 1, Agustus 2003.
[3]New Picture Emerges of Militant Network in Southeast Asia – Jama’ah Islamiyah Aided al-Qaeda But Has Own Agenda: Islamic State,” Asian Wall Street Journal, 9 Agustus 2002 dan Tony Lopez “What is JI?” Manila Times, 1 November 2002.
[4] S. Yunanto, et. al., Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara, (Jakarta: The Ridep Institute, 2003), h. 65.
[5]Kementerian Luar Negeri Singapura,“MFA Press Statement on the Request for Addition of Jama’ah Islamiah to List of Terorists Maintained by the UN”, 23 Oktober 2002.
[6] ICG, Bagaimana jaringan terorisme Jama’ah Islamiyah beroperasi:http://www.intl-crisis-group.org/projects/asia/Indonesia/reports/A400969_11122002.pdf
[7] Jurnal Millah, Millah Vol. III, No. 1, Agustus 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar