Laman

Rabu, 08 Januari 2014

Abdul Kahar Muzakkar



Abdul Kahar Muzakkar dilahirkan pada 24 Maret 1921 di daerah terpencil bernama kampong Lanipa, Ponrang, Sulawesi Selatan. Uniknya, Kahar justru tumbuh menjadi remaja yang gemar main domino. Karena itu, orang menjuluki Kahar “La Domeng”, alias tukang main domino.[1] Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga petani yang cukup mampu dan tergolong aristokrasi rendah. Ketika beranjak remaja, ia merantau.
Setelah tamat Sekolah Rakyat (SR) pada 1938, Kahar dikirim oleh orangtuanya ke Solo. Tempat yang ia datangi adalah perguruan Muallimin Muhammadiyah untuk memahami dan mengasah ilmu agama Islam. Di sini pula ia untuk pertama kali bergerak dalam gerakan Hizbul Wathon, organisasi otonom yang mempunyai visi dan mengemban misi Muhammadiyah dalam pendidikan. Di sekolah ini pula, ia bertemu KH. Sulaeman Habib, Mufti Besar Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII), dan beliau inilah yang mengusulkan penambahan nama Kahar menjadi Abdul Kahar Muzakkar, diilhami oleh Abdul Kahar Muzakkir: salah seorang panitia Sembilan BPUPKI. Namun, Kahar tidak berhasil menamatkan sekolahnya di Solo. Setelah memperistri Siti Walinah, seorang gadis Solo, ia kembali ke kampung halamannya pada 1941.[2]
Di Sulawesi Selatan, kota Luwu, Kahar bekerja di Nippon Dahopo, instansi bentukan Jepang. Saat itu Jepang sudah mulai melebarkan sayap jajahannya di Sulawesi. Selama beberapa lama berada di tanah kelahirannya, ia memberontak. Ia mengalami bentrok dengan kepala-kepala adat setempat, alasannya karena ia membenci sistem feodal yang berlaku di Sulawesi Selatan. Menurut Kahar, segala tindak tanduk Jepang hanyalah omong kosong belaka, sehingga dengan tangguh ia ingin mengusir Jepang dari tanah kelahirannya. Akibat penentangannya tersebut, Kerajaan Luwu bertindak licik dengan menuduhnya telah mencuri, lantas ia diganjar hukuman atas tuduhan menghina kerajaan dan mencuri. Hukuman yang diterimanya terhitung sangat berat, yakni diganjar vonis ri paoppangi tana, yaitu hukuman yang mengharuskannya keluar dari tanah kelahirannya.
Untuk kedua kalinya, Kahar meninggalkan kampung halamannya pada Mei 1943. Ia kembali ke Solo, dan periode ini membuatnya harus terus berjuang dan memberontak atas segala penindasan wilayah, ekonomi, dan politik Indonesia oleh Jepang. Ia lantas memutuskan untuk terjun secara total dalam kancah perjuangan kemerdekaan. Kemudian, ia mendirikan toko usaha semangat muda, dan pada perkembangannya, toko ini digunakan sebagai pusat dan markas gerakan perjuangan, tempat di mana ia membuat serta merumuskan strategi pemberontakan dan pengumpulan para pemuda.
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, ia pergi ke Jakarta. Di Jakarta Kahar mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (Gepis), yang kemudian berubah menjadi Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS), dan di organisasi ini Kahar menjabat sebagai sekretaris. Pada Desember 1945, beberapa pemuda menemui Kahar dan meminta untuk membantu dalam usaha pembebasan 800 pemuda yang ditahan di Nusakambangan. Aksinya berhasil, dan 800 pemuda yang menjadi cikal bakal laskar andalan yang dibentuknya dan dinamakan Kesatoean Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Setelah itu, Kahar bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Karir Kahar mengalami kemajuan pesat, ia aktif mengikuti berbagai pertempuran penting untuk mempertahankan kemerdekaan, dan dipercayai menjadi Komandan Persiapan Tentara Republik Indonesia-Sulawesi dan merupakan orang Bugis-Makassar pertama yang berpangkat letnan kolonel (letkol). Di Jakarta pula Kahar membuktikan keberaniannya. Pada rapat raksasa di Ikada, 19 September 1945, ia ikut mengawal Soekarno.[3] Perjalanan karirnya mulai menyurut ketika pasukan di luar Jawa direorganisasi menjadi satu brigade, dan Kahar tidak terpilih sebagai pemimpin karena yang ditunjuk ialah Letkol J.F Warouw, sementara ia hanya menjadi wakil komandan.
Pada 1952, setelah berhasil menumpas pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi Selatan, Kahar menuntut agar KGSS menjadi formasi resimen. Ia menghendaki pasukannya yang terdiri dari 10 batalyon itu dimasukkan ke dalam APRI kemudian menjadi Brigade Hasanuddin di bawah pimpinannya. Kolonel Kawilarang, panglima saat itu menolak mentah-mentah mambuat Kahar sangat kecewa dan kemudian ia meletakkan pangkat Letkolnya di depan Kawilarang. Analisis Anhar Gonggong, sejarawan UI, mengatakan bahwa kegagalan-kegagalan tersebut membuat Kahar merasa gagal mengembalikan harga dirinya sebagai orang Bugis-Makassar.
Kelanjutan dari kekecewaan tersebut, Kahar berikut KGSS memutuskan bergabung dengan gerakan DI/TII Kartosoewirjo pada 20 Agustus 1952. Pada 7 Agustus 1953, Kahar memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII). Kahar sendiri diangkat menjadi Panglima Divisi IV TII, dan meskipun sebagian masyarakat banyak yang mencela gerakan ini, namun faktanya gerakan ini berhasil mengajak sebagian anggota TNI untuk melarikan diri masuk hutan dan bergabung bersama NII Sulawesi Selatan.[4]
Kahar menjadi sosok orang yang dihormati pada masa itu dan perjuangannya banyak mendapatkan dukungan dari masyarakat. Sikapnya bergabung dengan DI/TII, membuat Kahar menjadi sosok yang idealis untuk membentuk Negara Islam. Tetapi, Kahar sendiri tidak selamanya setuju dengan paham Kartosoewirjo yang menginginkan Indonesia menjadi negara kesatuan di bawah payung Islam. Ia cenderung menginginkan Indonesia sebagai negara federal sehingga asas Islam tak perlu diterapkan di seluruh wilayah negara. Antiklimaksnya Kahar memecahkan diri dari Kartosoewirjo dan mendirikan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) di Sulawesi Selatan. Sebagai pemimpin RPII, Kahar bersumpah untuk bertindak tegas, radikal, dan revolusioner. Kahar memiliki konsep negara yang berbentuk federal Islam yang mengusung sistem pemerintahan demokrasi sejati. Dalam pandangannya, pemerintahan tersebut berbentuk presidensial dengan presiden sebagai kepala Negara dibantu oleh menteri-menteri yang dipilih langsung oleh rakyat. Kahar menentang konsep negara yang diusung Soekarno, dan baginya, Soekarno telah gagal memperjuangkan kemerdekaan, Kahar menilai Soekarno telah menipu bangsa Indonesia dengan keinginannya untuk membentuk agama dan Pancasila, menurutnya Soekarno adalah seorang komunis karena Soekarno membela Partai Komunis Indonesia (PKI), padahal sebelumnya Kahar sangat terkagum-kagum dengan ideologi Pancasila yang ditanamkan Soekarno.
Pemberontakan Kahar berlangsung selama kurang lebih 15 tahun. Perjuangan Kahar berakhir dalam operasi Tumpas TNI. Kahar tewas 3 Februari 1965, ditembak mati oleh Kopral Dua Sadeli, Anggota Batalyon Kujang 330/Siliwangi, di tepi sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara. Kematian Kahar Muzakkar pun menimbulkan kontroversi selama puluhan tahun, karena kematiannya menjadi misteri, tidak ada bekas peninggalannya, bahkan makamnya pun tidak ditemukan. Akibanya, para bekas pengikutnya mempertanyakan kebenaran berita kejadiannya. Menurut kisah, jenazahnya dikuburkan di kilometer 1 jalan raya Kendari.
Semasa hidupnya, Kahar Muzakkar tak pernah lepas dari ransel kecil yang berisi dokumen, Al-Quran, Hadis, dan buku harian. Setiap waktu luang dipakainya untuk menulis. Tak mengherankan jika kemudian Kahar menghasilkan 20 buku tentang politik, Islam, dan ketatanegaraan. Menurut Anhar Gonggong, kualitas tulisan Kahar cukup baik, dan tidak kalah jika dibandingkan dengan tulisan (alm.) Jenderal A.H.[5]


[1] Kahar Muzakkar, Isyarat dari Gunung Kambiasu. Lihat dalam: http://arsip.gatra.com/2001-02-06/artikel.php?id=3806
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Devina Hendarko, Abdul Kahar Muzakkar Penggagas Awal Federalisme, Nusantara Centre, Jurnal Edisi 16 Fabruari 2010.
[5]Kahar Muzakkar, Isyarat dari Gunung Kambiasu. Lihat dalam: http://arsip.gatra.com/2001-02-06/artikel.php?id=3806

Tidak ada komentar:

Posting Komentar