Abdul
Kahar Muzakkar dilahirkan pada 24 Maret 1921 di daerah terpencil bernama
kampong Lanipa, Ponrang, Sulawesi Selatan. Uniknya, Kahar justru tumbuh menjadi
remaja yang gemar main domino. Karena itu, orang menjuluki Kahar “La Domeng”,
alias tukang main domino.[1] Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga petani
yang cukup mampu dan tergolong aristokrasi rendah. Ketika beranjak remaja, ia
merantau.
Setelah
tamat Sekolah Rakyat (SR) pada 1938, Kahar dikirim oleh orangtuanya ke Solo.
Tempat yang ia datangi adalah perguruan Muallimin Muhammadiyah untuk memahami
dan mengasah ilmu agama Islam. Di sini pula ia untuk pertama kali bergerak
dalam gerakan Hizbul Wathon, organisasi otonom yang mempunyai visi dan
mengemban misi Muhammadiyah dalam pendidikan. Di sekolah ini pula, ia bertemu
KH. Sulaeman Habib, Mufti Besar Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII), dan
beliau inilah yang mengusulkan penambahan nama Kahar menjadi Abdul Kahar
Muzakkar, diilhami oleh Abdul Kahar Muzakkir: salah seorang panitia Sembilan
BPUPKI. Namun, Kahar tidak berhasil menamatkan sekolahnya di Solo. Setelah
memperistri Siti Walinah, seorang gadis Solo, ia kembali ke kampung halamannya
pada 1941.[2]
Di
Sulawesi Selatan, kota Luwu, Kahar bekerja di Nippon Dahopo, instansi bentukan
Jepang. Saat itu Jepang sudah mulai melebarkan sayap jajahannya di Sulawesi.
Selama beberapa lama berada di tanah kelahirannya, ia memberontak. Ia mengalami
bentrok dengan kepala-kepala adat setempat, alasannya karena ia membenci sistem
feodal yang berlaku di Sulawesi Selatan. Menurut Kahar, segala tindak tanduk
Jepang hanyalah omong kosong belaka, sehingga dengan tangguh ia ingin mengusir
Jepang dari tanah kelahirannya. Akibat penentangannya tersebut, Kerajaan Luwu
bertindak licik dengan menuduhnya telah mencuri, lantas ia diganjar hukuman
atas tuduhan menghina kerajaan dan mencuri. Hukuman yang diterimanya terhitung
sangat berat, yakni diganjar vonis ri paoppangi tana, yaitu hukuman yang
mengharuskannya keluar dari tanah kelahirannya.
Untuk
kedua kalinya, Kahar meninggalkan kampung halamannya pada Mei 1943. Ia kembali
ke Solo, dan periode ini membuatnya harus terus berjuang dan memberontak atas
segala penindasan wilayah, ekonomi, dan politik Indonesia oleh Jepang. Ia
lantas memutuskan untuk terjun secara total dalam kancah perjuangan
kemerdekaan. Kemudian, ia mendirikan toko usaha semangat muda, dan pada
perkembangannya, toko ini digunakan sebagai pusat dan markas gerakan
perjuangan, tempat di mana ia membuat serta merumuskan strategi pemberontakan
dan pengumpulan para pemuda.
Setelah
proklamasi 17 Agustus 1945, ia pergi ke Jakarta. Di Jakarta Kahar mendirikan
Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (Gepis), yang kemudian berubah menjadi
Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS), dan di organisasi ini Kahar
menjabat sebagai sekretaris. Pada Desember 1945, beberapa pemuda menemui Kahar
dan meminta untuk membantu dalam usaha pembebasan 800 pemuda yang ditahan di
Nusakambangan. Aksinya berhasil, dan 800 pemuda yang menjadi cikal bakal laskar
andalan yang dibentuknya dan dinamakan Kesatoean Gerilya Sulawesi Selatan
(KGSS).
Setelah
itu, Kahar bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Karir
Kahar mengalami kemajuan pesat, ia aktif mengikuti berbagai pertempuran penting
untuk mempertahankan kemerdekaan, dan dipercayai menjadi Komandan Persiapan
Tentara Republik Indonesia-Sulawesi dan merupakan orang Bugis-Makassar pertama
yang berpangkat letnan kolonel (letkol). Di Jakarta pula Kahar membuktikan
keberaniannya. Pada rapat raksasa di Ikada, 19 September 1945, ia ikut mengawal
Soekarno.[3] Perjalanan karirnya mulai menyurut ketika pasukan di luar Jawa
direorganisasi menjadi satu brigade, dan Kahar tidak terpilih sebagai pemimpin
karena yang ditunjuk ialah Letkol J.F Warouw, sementara ia hanya menjadi wakil
komandan.
Pada
1952, setelah berhasil menumpas pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi Selatan,
Kahar menuntut agar KGSS menjadi formasi resimen. Ia menghendaki pasukannya
yang terdiri dari 10 batalyon itu dimasukkan ke dalam APRI kemudian menjadi
Brigade Hasanuddin di bawah pimpinannya. Kolonel Kawilarang, panglima saat itu
menolak mentah-mentah mambuat Kahar sangat kecewa dan kemudian ia meletakkan
pangkat Letkolnya di depan Kawilarang. Analisis Anhar Gonggong, sejarawan UI,
mengatakan bahwa kegagalan-kegagalan tersebut membuat Kahar merasa gagal
mengembalikan harga dirinya sebagai orang Bugis-Makassar.
Kelanjutan
dari kekecewaan tersebut, Kahar berikut KGSS memutuskan bergabung dengan
gerakan DI/TII Kartosoewirjo pada 20 Agustus 1952. Pada 7 Agustus 1953, Kahar
memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia
(NII). Kahar sendiri diangkat menjadi Panglima Divisi IV TII, dan meskipun
sebagian masyarakat banyak yang mencela gerakan ini, namun faktanya gerakan ini
berhasil mengajak sebagian anggota TNI untuk melarikan diri masuk hutan dan
bergabung bersama NII Sulawesi Selatan.[4]
Kahar
menjadi sosok orang yang dihormati pada masa itu dan perjuangannya banyak
mendapatkan dukungan dari masyarakat. Sikapnya bergabung dengan DI/TII, membuat
Kahar menjadi sosok yang idealis untuk membentuk Negara Islam. Tetapi, Kahar
sendiri tidak selamanya setuju dengan paham Kartosoewirjo yang menginginkan
Indonesia menjadi negara kesatuan di bawah payung Islam. Ia cenderung
menginginkan Indonesia sebagai negara federal sehingga asas Islam tak perlu
diterapkan di seluruh wilayah negara. Antiklimaksnya Kahar memecahkan diri dari
Kartosoewirjo dan mendirikan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) di
Sulawesi Selatan. Sebagai pemimpin RPII, Kahar bersumpah untuk bertindak tegas,
radikal, dan revolusioner. Kahar memiliki konsep negara yang berbentuk federal
Islam yang mengusung sistem pemerintahan demokrasi sejati. Dalam pandangannya,
pemerintahan tersebut berbentuk presidensial dengan presiden sebagai kepala
Negara dibantu oleh menteri-menteri yang dipilih langsung oleh rakyat. Kahar
menentang konsep negara yang diusung Soekarno, dan baginya, Soekarno telah
gagal memperjuangkan kemerdekaan, Kahar menilai Soekarno telah menipu bangsa
Indonesia dengan keinginannya untuk membentuk agama dan Pancasila, menurutnya
Soekarno adalah seorang komunis karena Soekarno membela Partai Komunis
Indonesia (PKI), padahal sebelumnya Kahar sangat terkagum-kagum dengan ideologi
Pancasila yang ditanamkan Soekarno.
Pemberontakan
Kahar berlangsung selama kurang lebih 15 tahun. Perjuangan Kahar berakhir dalam
operasi Tumpas TNI. Kahar tewas 3 Februari 1965, ditembak mati oleh Kopral Dua
Sadeli, Anggota Batalyon Kujang 330/Siliwangi, di tepi sungai Lasalo, Sulawesi
Tenggara. Kematian Kahar Muzakkar pun menimbulkan kontroversi selama puluhan
tahun, karena kematiannya menjadi misteri, tidak ada bekas peninggalannya,
bahkan makamnya pun tidak ditemukan. Akibanya, para bekas pengikutnya
mempertanyakan kebenaran berita kejadiannya. Menurut kisah, jenazahnya
dikuburkan di kilometer 1 jalan raya Kendari.
Semasa
hidupnya, Kahar Muzakkar tak pernah lepas dari ransel kecil yang berisi
dokumen, Al-Quran, Hadis, dan buku harian. Setiap waktu luang dipakainya untuk
menulis. Tak mengherankan jika kemudian Kahar menghasilkan 20 buku tentang
politik, Islam, dan ketatanegaraan. Menurut Anhar Gonggong, kualitas tulisan
Kahar cukup baik, dan tidak kalah jika dibandingkan dengan tulisan (alm.)
Jenderal A.H.[5]
[1] Kahar Muzakkar, Isyarat dari Gunung
Kambiasu. Lihat dalam:
http://arsip.gatra.com/2001-02-06/artikel.php?id=3806
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4]
Devina Hendarko, Abdul Kahar Muzakkar Penggagas Awal Federalisme,
Nusantara Centre, Jurnal Edisi 16 Fabruari 2010.
[5]Kahar Muzakkar, Isyarat dari Gunung Kambiasu.
Lihat dalam:
http://arsip.gatra.com/2001-02-06/artikel.php?id=3806
Tidak ada komentar:
Posting Komentar