Dr.
Abdullah Azam nama langkapnya adalah Abdullah Yusuf Azzam, juga dikenal dengan
panggilan Syekh Azzam. Abdullah Azam lahir pada 1941 di Sailatul Haritsiyah,
salah satu kecamatan di Jenin, Palestina.[1] Ia dibesarkan di sebuah rumah yang bersahaja dengan
dididik agama Islam yang kuat. Semasa masih kanak-kanak, Abdullah Azzam sangat
menonjol di antara anak-anak lainnya. Teman-teman sepergaulan mengenal Abdullah
Azam kecil sebagai seorang anak yang shaleh. Pada umur 18 tahun, ia menikah,
kemudian hijrah ke Yordania. Pada 1966 ia meraih gelar Lc pada Fakultas Syariah
Universitas Damaskus, Syiria dengan studi jarak jauh (intishob, setelah
itu ia menjadi guru setingkat SLTA di Amman, Yordania.
Pada
akhir dekade 1960-an, dari Yordania Abdullah Yusuf Azzam bergabung dalam jihad
menentang pendudukan Israel atas Palestina. Setelah berakhirnya pelatihan di
barak, Abdullah Azam memutuskan pergi belajar ke Mesir dan memperoleh gelar
master dalam bidang Syariah di Universitas Al-Azhar, Kairo. Pada 1970, setelah
jihad terhenti karena kekuatan PLO diusir keluar dari Yordania, ia menjadi
dosen di Universitas Yordania di Amman. Sekitar satu tahun kemudian, Abdullah
Azam, pada 1971, memperoleh beasiswa dari Universitas Al-Azhar untuk
melanjutkan pendidikan S3 dan memperoleh gelar Ph.D dalam bidang Pokok-Pokok
Hukum Islam (Ushul-Fiqh) pada 1973. Selama di Mesir inilah ia mengenal keluarga
Sayyid Qutb.
Pasca
studi doktoral, Abdullah Azam kembali mengajar di Universitas Yordania Fakultas
Syariah dari 1973-1980, lalu diangkat sebagai Guru Besar Universitas Yordania.
Namun, ia dikelurkan dari universitas tersebut atas keputusan pemerintah
Yordania karena aktifitasnya dalam membina generasi muda Islam, bahkan ia
dijuluki sebagai Sayyid Qutb-nya Yordania.[2]
Pada
1982, ia menjadi dosen di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi.[3] Setelah itu, ia mengajar di Fakultas Syari’ah dan Law
Universitas Islam Internasional Islamabad, Pakistan, dan di sinilah akhir dari
perjalanan studi akademik Abdullah Azam karena ia mengundurkan diri dari universitas
agar bisa mencurahkan seluruh waktu dan energinya untuk konsentrasi di jihad
Afghanistan.[4]
Pada
permulaan dekade 1980-an, Abdullah Azzam langsung turun ke medan jihad
Afghanistan. Di jihad inilah ia merasa puas bisa memenuhi kerinduan dan cinta
yang tak terlukiskan untuk berjuang di jalan Allah. Sang mantan Guru Besar ini
behasil memadukan antara perjuangan dan jihad dengan pena dan lisan. Ia
melakukan safari dakwah ke Negara Arab, Islam, Eropa, bahkan Amerika
Serikat.
Di
dalam dakwahnya, alumnus Doktor Universitas Al-Azhar ini bukan semata-mata
ingin menyampaikan ajaran-ajaran Islam, tapi di sisi lain ia juga
berkepentingan untuk mendorong umat Islam di seluruh penjuru dunia untuk
berpartisipasi atau memberi bantuan kepada mujahidin Afghanistan. Alasan
pengunduran diri Abdullah Azam dari universitas dan memilih konsentrasi jihad
karena di Afghanistan sedang terjadi peperangan dengan Rusia. Perang paling
dahsyat ialah perang Jaji yang terjadi pada Ramadhan 1987. Keberhasilan Islam
dalam peperangan ini membuat Abdullah Azam menjabat sebagai Ketua Kantor
Pelayanan Mujahidin di Afghanistan. Di samping itu, selama perang di
Afghanistan, Abdullah Azam memimpin sejumlah operasi untuk memberi pelayanan
dan bantuan, baik pendidikan, kesehatan, maupun militer kepada pengungsi,
mujahidin Afghanistan, dan anak-anak mereka. Sementara perang penah yang
dilakukan Abdullah Azam ialah dengan mendirikan majalah Risalatul Jihad
sebagai mimbar bulanan untuk menyebarkan berita-berita jihad dan buletin
pekanan Lahibul Ma’rakah yang memuat peristiwa-peristiwa aktual di medan
pertempuran Afghanistan.[5]
Ideologi
serta pemahaman yang bersarang di benak Abdullah Azam bahwa jihad adalah sebuah
kewajiban dan baku yang diperintahkan Allah. Menurutnya, tidak ada tempat untuk
melarikan diri dari kewajiban ini, karena Islam memotivasi dengan motivasi
paling besar, melimpahkan pahala besar kepada mujahidin dan syuhada,
menjadikan darah mereka yang suci dan bersih sebagai simbol kemenangan di dunia
dan indikasi keberuntungan di akhirat, mengancam orang-orang yang enggan dan
meninggalkan jihad dengan ancaman sangat berat, menjuluki mereka dengan sifat
dan predikat paling hina. Bahkan sebelum Abdullah Azam meninggal dunia, ia
memberikan sebuah wasiat berbunyi;
“Kecintaan
pada jihad menguasai hidup, jiwa, perasaan, hati, dan seluruh pikiranku.
Berdiam diri di Masjidil Haram dan memakmurkannya tidak mungkin dapat disamakan
dengan jihad di jalan Allah. Membiarkan muslimin dibantai dan kita hanya
mengucapkan la haula wa la quwwata illa billah, atau innalillahi wa
inna ilaihi raji’un sambil menggaruk-garukkan tangan kita dari jauh tanpa
terdorong, meskipun hanya satu langkah, melakukan upaya pembelaan terhadap
krisis yang menimpa mereka, adalah tindakan menyia-nyiakan, mempermainkan agama
Allah, ekspresi perasaan yang dingin, dan dusta yang selama ini menipu jiwa
kita”.[6]
Misi
jihad Abdullah Azam ialah untuk mendirikan syariat Islam dan membebaskan umat
Islam dari penjajah. Jihad baginya sudah menjadi filosifi hidup. Ia dikenal
sebagai ulama kharismatik asal Palestina yang terkenal dengan fatwanya untuk
mengusir Uni Soviet dari Afganistan.[7] Sampai akhir hayatnya, ia tetap menolak tawaran mengajar di
beberapa universitas. Ia berjanji terus berjihad sampai titik darah
penghabisan.
Di
antara karya-karya tulis Abdullah Azam, banyak yang mengupas tentang jihad,
seperti Ayyaurrahman fi Jihadil Afghan, Fil Jihad Adab wa Ahkaam,
Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Munkar, Al-Islam wa Mustabaqatul
Basyariyah, dan masih banyak karya lainnya. Abdullah Azam merupakan salah
seorang tokoh pengikut Sayyid Qutb dan Hasan Al-Banna, tokoh pendiri Ikhwanul
Muslimin Mesir, dan ai menghkayati secara mendalam pelajaran yang dituliskan
Sayyid Qutb dan Hasan Al-Banna.
Pada
Jum’at, 24 November 1989, Abdullah Azam dipanggil Sang Maha Pencipta setelah
mobil yang ditumpanginya bersama kedua anaknya diterjang bom yang cukup dahsyat.[8] Tubuh anaknya yang kecil, Ibrahim, terlempar ke udara
sejauh 100 meter. Sementara tubuh Abdullah Azzam tersandar di dinding, tetap
utuh dan tidak cacat sama sekali, kecuali sedikit darah terlihat mengalir dari
mulut Abdullah Azzam.
[1] Syaikh Abdullah Azam, Masa depan Islam, Islam dan Masa
depan Ummat Manusia, (Bandung: Pustaka Lingkar Studi ad-Difaa’), hlm. 47.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil, Mereka Yang Telah Pergi,
Tokoh-tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer, (Jakarta: Cahaya
Umat, 2003)), hlm. 643-644.
[5] Ibid., hlm. 645-646.
[6] Abdullah Al-Aqil, Min A’lami Al-Harakah wa Ad-Da’wah
Al-Islamiyah Al-Mu’ashirah, (Jakarta: I’tishom, 2003), hlm 650.
[7] Lawrence Wright, Looming Tower: Al-Qaeda and the Road to
9/11, Sejarah Teror: Jalan Panjang Menuju 11 September, (Yogyakarta: Kanisius,
2011), hlm. 467.
[8] Syaikh Abdullah Azam, Masa depan Islam, Islam dan Masa
depan Ummat Manusia, hlm. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar