Laman

Jumat, 10 Januari 2014

Abdullah Azam



Dr. Abdullah Azam nama langkapnya adalah Abdullah Yusuf Azzam, juga dikenal dengan panggilan Syekh Azzam. Abdullah Azam lahir pada 1941 di Sailatul Haritsiyah, salah satu kecamatan di Jenin, Palestina.[1] Ia dibesarkan di sebuah rumah yang bersahaja dengan dididik agama Islam yang kuat. Semasa masih kanak-kanak, Abdullah Azzam sangat menonjol di antara anak-anak lainnya. Teman-teman sepergaulan mengenal Abdullah Azam kecil sebagai seorang anak yang shaleh. Pada umur 18 tahun, ia menikah, kemudian hijrah ke Yordania. Pada 1966 ia meraih gelar Lc pada Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Syiria dengan studi jarak jauh (intishob, setelah itu ia menjadi guru setingkat SLTA di Amman, Yordania.
Pada akhir dekade 1960-an, dari Yordania Abdullah Yusuf Azzam bergabung dalam jihad menentang pendudukan Israel atas Palestina. Setelah berakhirnya pelatihan di barak, Abdullah Azam memutuskan pergi belajar ke Mesir dan memperoleh gelar master dalam bidang Syariah di Universitas Al-Azhar, Kairo. Pada 1970, setelah jihad terhenti karena kekuatan PLO diusir keluar dari Yordania, ia menjadi dosen di Universitas Yordania di Amman. Sekitar satu tahun kemudian, Abdullah Azam, pada 1971, memperoleh beasiswa dari Universitas Al-Azhar untuk melanjutkan pendidikan S3 dan memperoleh gelar Ph.D dalam bidang Pokok-Pokok Hukum Islam (Ushul-Fiqh) pada 1973. Selama di Mesir inilah ia mengenal keluarga Sayyid Qutb.
Pasca studi doktoral, Abdullah Azam kembali mengajar di Universitas Yordania Fakultas Syariah dari 1973-1980, lalu diangkat sebagai Guru Besar Universitas Yordania. Namun, ia dikelurkan dari universitas tersebut atas keputusan pemerintah Yordania karena aktifitasnya dalam membina generasi muda Islam, bahkan ia dijuluki sebagai Sayyid Qutb-nya Yordania.[2]
Pada 1982, ia menjadi dosen di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi.[3]  Setelah itu, ia mengajar di Fakultas Syari’ah dan Law Universitas Islam Internasional Islamabad, Pakistan, dan di sinilah akhir dari perjalanan studi akademik Abdullah Azam karena ia mengundurkan diri dari universitas agar bisa mencurahkan seluruh waktu dan energinya untuk konsentrasi di jihad Afghanistan.[4]
Pada permulaan dekade 1980-an, Abdullah Azzam langsung turun ke medan jihad Afghanistan. Di jihad inilah ia merasa puas bisa memenuhi kerinduan dan cinta yang tak terlukiskan untuk berjuang di jalan Allah. Sang mantan Guru Besar ini behasil memadukan antara perjuangan dan jihad dengan pena dan lisan. Ia melakukan safari dakwah ke Negara Arab, Islam, Eropa, bahkan Amerika Serikat.
Di dalam dakwahnya, alumnus Doktor Universitas Al-Azhar ini bukan semata-mata ingin menyampaikan ajaran-ajaran Islam, tapi di sisi lain ia juga berkepentingan untuk mendorong umat Islam di seluruh penjuru dunia untuk berpartisipasi atau memberi bantuan kepada mujahidin Afghanistan. Alasan pengunduran diri Abdullah Azam dari universitas dan memilih konsentrasi jihad karena di Afghanistan sedang terjadi peperangan dengan Rusia. Perang paling dahsyat ialah perang Jaji yang terjadi pada Ramadhan 1987. Keberhasilan Islam dalam peperangan ini membuat Abdullah Azam menjabat sebagai Ketua Kantor Pelayanan Mujahidin di Afghanistan. Di samping itu, selama perang di Afghanistan, Abdullah Azam memimpin sejumlah operasi untuk memberi pelayanan dan bantuan, baik pendidikan, kesehatan, maupun militer kepada pengungsi, mujahidin Afghanistan, dan anak-anak mereka. Sementara perang penah yang dilakukan Abdullah Azam ialah dengan mendirikan majalah Risalatul Jihad sebagai mimbar bulanan untuk menyebarkan berita-berita jihad dan buletin pekanan Lahibul Ma’rakah yang memuat peristiwa-peristiwa aktual di medan pertempuran Afghanistan.[5]
Ideologi serta pemahaman yang bersarang di benak Abdullah Azam bahwa jihad adalah sebuah kewajiban dan baku yang diperintahkan Allah. Menurutnya, tidak ada tempat untuk melarikan diri dari kewajiban ini, karena Islam memotivasi dengan motivasi paling besar, melimpahkan pahala besar kepada mujahidin dan syuhada, menjadikan darah mereka yang suci dan bersih sebagai simbol kemenangan di dunia dan indikasi keberuntungan di akhirat, mengancam orang-orang yang enggan dan meninggalkan jihad dengan ancaman sangat berat, menjuluki mereka dengan sifat dan predikat paling hina. Bahkan sebelum Abdullah Azam meninggal dunia, ia memberikan sebuah wasiat berbunyi;
“Kecintaan pada jihad menguasai hidup, jiwa, perasaan, hati, dan seluruh pikiranku. Berdiam diri di Masjidil Haram dan memakmurkannya tidak mungkin dapat disamakan dengan jihad di jalan Allah. Membiarkan muslimin dibantai dan kita hanya mengucapkan la haula wa la quwwata illa billah, atau innalillahi wa inna ilaihi raji’un sambil menggaruk-garukkan tangan kita dari jauh tanpa terdorong, meskipun hanya satu langkah, melakukan upaya pembelaan terhadap krisis yang menimpa mereka, adalah tindakan menyia-nyiakan, mempermainkan agama Allah, ekspresi perasaan yang dingin, dan dusta yang selama ini menipu jiwa kita”.[6]
Misi jihad Abdullah Azam ialah untuk mendirikan syariat Islam dan membebaskan umat Islam dari penjajah. Jihad baginya sudah menjadi filosifi hidup. Ia dikenal sebagai ulama kharismatik asal Palestina yang terkenal dengan fatwanya untuk mengusir Uni Soviet dari Afganistan.[7] Sampai akhir hayatnya, ia tetap menolak tawaran mengajar di beberapa universitas. Ia berjanji terus berjihad sampai titik darah penghabisan.
Di antara karya-karya tulis Abdullah Azam, banyak yang mengupas tentang jihad, seperti Ayyaurrahman fi Jihadil Afghan, Fil Jihad Adab wa AhkaamAl-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Munkar, Al-Islam wa Mustabaqatul Basyariyah, dan masih banyak karya lainnya. Abdullah Azam merupakan salah seorang tokoh pengikut Sayyid Qutb dan Hasan Al-Banna, tokoh pendiri Ikhwanul Muslimin Mesir, dan ai menghkayati secara mendalam pelajaran yang dituliskan Sayyid Qutb dan Hasan Al-Banna.
Pada Jum’at, 24 November 1989, Abdullah Azam dipanggil Sang Maha Pencipta setelah mobil yang ditumpanginya bersama kedua anaknya diterjang bom yang cukup dahsyat.[8] Tubuh anaknya yang kecil, Ibrahim, terlempar ke udara sejauh 100 meter. Sementara tubuh Abdullah Azzam tersandar di dinding, tetap utuh dan tidak cacat sama sekali, kecuali sedikit darah terlihat mengalir dari mulut Abdullah Azzam.


[1] Syaikh Abdullah Azam, Masa depan Islam, Islam dan Masa depan Ummat Manusia, (Bandung: Pustaka Lingkar Studi ad-Difaa’), hlm. 47.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil, Mereka Yang Telah Pergi, Tokoh-tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer, (Jakarta: Cahaya Umat, 2003)), hlm. 643-644.
[5] Ibid., hlm. 645-646.
[6] Abdullah Al-Aqil, Min A’lami Al-Harakah wa Ad-Da’wah Al-Islamiyah Al-Mu’ashirah, (Jakarta: I’tishom, 2003), hlm 650.
[7] Lawrence Wright, Looming Tower: Al-Qaeda and the Road to 9/11, Sejarah Teror: Jalan Panjang Menuju 11 September, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 467.
[8] Syaikh Abdullah Azam, Masa depan Islam, Islam dan Masa depan Ummat Manusia, hlm. 47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar