Abdullah
bin Ahmad Sungkar atau lebih dikenal dengan nama Abdullah Sungkar, lahir di
Surakarta, pada 1937, dari keluarga sederhana. Dari segi ekonomi orangtuanya
hidup dalam kesederhanaan, tetapi aspek pendidikan terutama pendidikan agama,
Abdullah Sungkar kecil sangat beruntung, karena selain tinggal di lingkungan
religius, ia juga dididik dan diasuh dalam suasana Islam yang kental oleh
ayahnya yang bernama Ahmad bin Ali Sungkar, yang merupakan imigran dari
Hadramaut. Abdullah Sungkar kecil belajar formal selalu di lembaga pendidikan
Islam, mulai Taman Kanak-kanak, SD Al-Irsyad Solo, SMP dilangsungkan di Modern
Islamic School. Sejak duduk di bangku SMP ia sudah aktif berorganisasi,[1] dan setelah menamatkan pendidikan di SMA Muhammadiyah Solo
(1957), ia tidak melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Namun, Abdullah
Sungkar terus meningkatkan ilmu pengetahuannya, terus mendalami ajaran
agamanya, dan pada taraf tertentu ia mampu menguasai dua bahasa asing yaitu
Bahasa Inggris dan Bahasa Arab dengan baik.[2]
Semangat
muda Abdullah Sungkar yang diilhami keimanan yang kuat kepada Allah SWT,
mendorongnya untuk menempa diri berkiprah di gelanggang perjuangan Islam. Untuk
itu, ia pun akhirnya kepincut dengan dunia organisasi dan kepemudaan. Selain
aktif di kepanduan Al-Irsyad, ia juga aktif di Gerakan Pemuda Islam Indonesia
(GPII) pada 1954, bahkan pada tahun yang sama Abdullah Sungkar mulai
melangkahkan kakinya ke partai politik (Masyumi) yang dipimpin oleh Moh.
Natsir.
Di
bidang pendidikan, Abdullah Sungkar dan kawan-kawan pada 1971 mendirikan
Yayasan Pondok Pesantren “Al-Mu’min” di daerah Ngruki, Solo, dan masih berdiri
hingga kini. Meskipun ia juga anggota partai politik Masyumi, yang sedang
berargumentasi seputar penegakan Syari’at Islam di parlemen, tetapi ia malah
memilih jalur lain, yaitu berdakwah.[3]
Seiring
perjalanan waktu, Abdullah Sungkar pun pada akhirnya menemukan “habitat”
aslinya, yaitu dunia dakwah. Di situlah ia kemudian dikenal sebagai mubaligh
yang berani dan keras. Bahkan untuk memperluas jangkauan dakwahnya, Abdullah
Sungkar bersama kawan-kawannya mendirikan Radio Dakwah Islamiyah (Radis) di
Jalan Gading Solo. Akan tetapi karena pemerintah menilai radio tersebut
menyiarkan pesan- pesan agama yang dianggap membahayakan negara, maka
pemerintah membungkamnya.
Abdullah
Sungkar sebelum bergabung dengan Komando Jihad/Darul Islam telah mendirikan
sebuah kelompok yang diberi nama ”Jama’ah Islamiyyah”. Kelompok ini anggotanya
terdiri dari para veteran pejuang yang sudah pulang dari jihad berperang antara
Afganistan dan Rusia.[4] Pada Oktober 2002, PBB menempatkan Jama’ah Islamiyah pada
daftar organisasi teroris.[5]
Dalam
usaha untuk merealisasikan tujuan dan cita-citanya, Abdullah Sungkar tidak
segan-segan “berdakwah” yang dapat menyinggung dan mengkritik penguasa Orde
Baru. Akhirnya, pada 1977, selama satu bulan (12 Maret – 29 April) Abdullah
Sungkar ditahan Laksusda Jawa Tengah, atas tuduhan subversi karena diduga
terlibat Komando Jihad/Darul Islam, serta mensosialisasikan golput pada Pemilu
saat itu. Sejak 10 November 1978 sampai 3 April 1982 (4 tahun), Abdullah
Sungkar kembali mendekam di tahanan Laksusda Jawa Tengah. Ia dituduh merongrong
Pancasila dan pemerintahan yang sah, melalui dakwah-dakwahnya yang berani,
keras, dan tegas.[6]
Memperhatikan
sepak terjang Abdullah Sungkar tersebut, penguasa Orde Baru berusaha
mengembalikanya ke terali besi penjara. Melihat gelagat rezim Orde Baru tersebut,
akhirnya Abdullah Sungkar meninggalkan rumah untuk kemudian hijrah ke Malaysia.
Sejak 1985 Abdullah Sungkar tinggal di Malaysia dengan berganti nama Abdul
Halim, ia tinggal di kampung Air Bong, Serting Tengah, Batu Ulin, Negeri
Sembilan. Ia bahkan sempat mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama “Ma’had
Tarbiyah Islamiyah Luqman al Hakim” di Johor Malaysia.[7]
Lengsernya
Soeharto dari kursi presiden membawa harapan baru bagi Abdullah Sungkar, karena
itu Pada 20 Oktober 1999 ia memberanikan diri berkunjung ke Indonesia untuk
berziarah ke berapa kawan seperjuangan, tetapi ia mendadak terserang gangguan
jantung. Akhirnya pada 23 Oktober 1999, ia dipanggil menghadap Allah SWT. Sang
jasad pendiri Pesantren “Al-Mu’min” ini dimakamkan di Klaten Jawa Tengah.
[1] Sholahuddin, NII sampai JI, (Jakarta: Komunitas
Bambu, 2011), hlm. 140.
[2]Jurnal Millah, Millah Vol. III, No. 1, Agustus 2003.
[3] “New Picture Emerges of Militant Network in Southeast
Asia – Jama’ah Islamiyah Aided al-Qaeda But Has Own Agenda: Islamic State,”
Asian Wall Street Journal, 9 Agustus 2002 dan Tony Lopez “What is JI?”
Manila Times, 1 November 2002.
[4] S. Yunanto, et. al., Gerakan Militan Islam di
Indonesia dan di Asia Tenggara, (Jakarta: The Ridep Institute, 2003), h.
65.
[5]Kementerian Luar Negeri Singapura,“MFA Press Statement on
the Request for Addition of Jama’ah Islamiah to List of Terorists Maintained by
the UN”, 23 Oktober 2002.
[6] ICG, Bagaimana jaringan terorisme Jama’ah Islamiyah
beroperasi:http://www.intl-crisis-group.org/projects/asia/Indonesia/reports/A400969_11122002.pdf
[7] Jurnal Millah, Millah Vol. III, No. 1, Agustus 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar